Peng-Aku-an

Belakangan ini cukup ramai media sosial (dan media elektronik) membahasa, SS “yg katanya anak Jendral Polisi”. Di salah satu video yg beredar, anak ini mengancam polisi yg hendak menilangnya, dan berkata “ku tandai kau”. Dia enggan ditilang, walau terindikasi salah, dan mengancam petugas dengan jabatan orang tuanya yg konon salah satu jendral polisi.

aL2woqv_460s

Dalam waktu singkat video beredar, tentu masyarakat langsung menilai dengan separatis dan sekena-nya. Dan mungkin inilah bentuk kemuakan dari masyarakat atas kesewenang2an para pejabat dan “anak pejabat” yg di lingkungan masyarakat terkenal sering seenaknya dan berlindung atas nama kekuasaan dari orang tua mereka.

Tapi nasib sial ditimpa pada SS. Entah mungkin tidak sadar atau larut dalam euforiah selesainya UN untuk SMA, dia mungkin tidak sadar bahwa tingkah lakunya tersebut “terliput” media, dan langsung menyebar dengan ganasnya. Kenyataan yg paling pahit, pengakuan SS ttg jabatan orang tua nya yg seorang “jendral” adalah palsu, alias bohong belaka.

Beberapa hari seusai menyebarnya video tersebut, pihak “jendral” yg disebut SS menyatakan bahwa anak tersebut tidak lain adalah keponakan, bukan anak.Tak lama musibah merundung SS. Sang ayah meninggal dunia karna sakit yg diakibatkan shock dan stress .

Tentu jika dipikir2, betapa pahitnya kehidupan SS, setelah ujaran kebencian yg mengalir pada dirinya, kemudian dilanjutkan dengan kepergian sang ayah. Tapi siapakah yg paling menyesal dengan kejadian ini.

Saya mungkin tak bosan berkata bahwa aday yg salah dengan mentalitas rakyat yg ada di bangsa ini. Tabiat buruk untuk pamer, membenci kesuksesan orang, serta menggunjing menjadi ciri khas negeri ini, terutama di media sosial. Saya pikir toleran si yg terkenal dari bangsa ini sudah memudar, dan bahkan hilang.

Tapi bagaimana nasib SS, yg masih remaja dan belia. Kita tidak tau level kehidupannya, temannya, atau bagaimana keluarganya mendidik. Tapi jika kita lihat dari video yg beredar, bisa kita lihat bahwa REMAJA ini sedang menunjukan diri bahwa dia adalah seorang yg memliki kekuasaan dan kebal hukum. Intimidasi yg dia keluarkan (mengatakan “kutantandai kau!” saya pikir bukan refleks anak remaja biasa.

Waktu saya kecil berumur 4 atau 5 tahun, saya sering mengalami bulying dan intimidasi dari teman sebaya (yg aga tua dikit). Ibu, dan Bapak saya selaku orang tua dan orang sibuk (maklum katanya saya adalah anak yg paling ditelantarkan) serta memperhatikan perkembangan mental dan sosial putranya yg ganteng ini, mereka berdua nyuruh main ke luar rumah (kebetulan dulu deket pondok pesantren). Orang tua saya bingung karena setiap saya main, pasti pulang sambil nangis, dan pasti ditanya, “kamu berantem sama Wanar, Uho?”. Saya ngangguk2 aja (dan dah lupa kenapa nagis terus, seinget saya saya memang dijauhi, dan pernah berantem ala anak kecil). Tapi jangan harap kita orang dapat bantuan orang tua untuk memarahi musuh kita, orang tua saya malah bilang gini “kalo dipukul, ya pukul balik. Jangan nangis, cowo kok nangis! Dan inget, berantemnya jangan pake batu” *jeng2.

Itulah sepenggal ilmu hidup yg diberi orang tua, tentu masih banyak nilai yg bagus seperti penggalan diata, mungkin dikisah lain kita bisa bercerita lagi.

Oke berdasarkan latarbelakan kisah masalalu saya, tentu itu yg menjadi dasar pegangan saya dalam menghadapi masalah, maupun intimidasi dari orang lain. Orang tua saya selau bilang :”aparat (polisi) sulit untuk jujur, lingkungannya berat, dan berengsek”. Dan saya juga punya cerita tentang sepupu saudaranya yg masuk ke kepolisian dengan cara yg tidak benar, dan refleksi keluarganya pun termasuk kurang normal dan terbilang berantakan (menurut deskripsi temen saya).

Saya jadi bisa menarik kesimpulan tentang SS, remaja yg (mungkin) lugu itu. Lingkungan keluarga yg keras (karna Batak), serta punya om yg polisi, dia mungkin mendapat masukan untuk selalu bersembunyi di “ketiak pak AD”. dan mungkin itu juga masukan dari om-nya itu sendiri. Secara coba kita bayangkan jika kita punya om, pak de, pak le, kayanya kita ga bakal sekonyong-konyong bersembunyi dibalik nama mereka jika memang tidak diijinkan.

Saya pikir ini menjadi evaluasi bersama tentang bagaimana mendidik anak dan memberikannya pengertian dan pengetahuan yg baik. Sehingga jangan sampai SS selanjutnya hadir, bahkan dari keluarga kita sendiri, dimana kesalahannya adalah pendidikan moral yg rendah, dan keangkuhan yg tidak pernah diturunkan dengan nilai2 kesahajaan sesama manusia.

 

Edo Susanto

12-4-2016 (Pukul :15.56)

Monggo Komentar