Katanya ingin ibadah

Tulisan ini sekedar catatan kaki dan keresahan yg menumpuk. Tentang bagaimana kita beribadah dan glorifikasi ritual-ritual yang menyebabkan pikiran tergelitik untuk berdiskusi.

Sudah lama aku tidak berangkat Gereja. Mungkin mendekati 4 Tahun? Tentu banyak keresahan yang masih ada hubungannya dengan tulisan ini. Tapi untuk dijelaskan dalam tulisan publik, rasanya terlalu sensitif dan akan berbahaya bagi diri sendiri.

Dulu ketika sekolah di Semarang, sempat agak “rajin” ibadah minggu. Tujuannya cuman 1, cari ketenangan. Hampir satu tahun berjalan, sayang rasa tenang itu menghilang. Bukan karena ajaran kristennya, tapi karna pengkotbahnya. Begitu juga ketika menginjakan kaki di Sulawesi, sempat coba untuk ibadah “minggu” lagi, tapi aku merasa lebih tenang untuk tidak beribadah “minggu” lagi.

Ibadah selalu digambarkan sebagai obat ampuh. Jauhi narkoba, ya ibadah. Sial / tidak beruntung ya ibadah / amal. Suwung / resah, obatnya ibadah. Bahkan masalah sosial, ataupun ekonomi (yg kadang jelas2 solusinya cari kerja, pelatihan atau cari link pekerjaan) ya solusinya pekerjaan. Padahal ya linktre dan telegram sudah ada.

Dulu sewaktu kecil, dalam ajaran yg diajarkan kepadaku, bentuk ibadah ya sekolah minggu. Atau ya Ibadah ya ke Gereja. Seiring meningkatnya umur dan kesadaran, beberapa pandangan-pandangan terkait hal tersebut cukup berubah. Tentu bisa jadi ke arah yang mungkin bagi sebagian orang kurang baik, karena sudah tidak pernah “ibadah” lagi ke Gereja. Tapi secara prinsip terkait dengan cara “ibadah” aku sudah tidak sekonvensional itu yg harus hari minggu dan ke Gereja, dan mungkin biar tidak dishare dulu. Mungkin kapan-kapan di kesempatan lain.

Aku tidak niat nyinyir, atau membenarkan cara yg aku jalani, atau menyalahkan cara yg akan aku bahas. Tapi ini murni karena terlalu sering tertumpuk di pikiran dan aku rasa ini agak tepat untuk disampaikan dalam tulisan.

Jadi begini. Dulu sekali ketika sekolah, sempat diadakan kepanitian Natalan di SMA. Ya bagus si, tujuannya “ibadah”. Ini juga berjalan pas di Semarang. Setelah waktu berjalan banyak yg aku sadari, apalagi dimasa “terbuka” aka medsos. Ternyata harus diakui dalam diri, pada saat itu dibandingkan bobot ibadahnya, mungkin lebih berat untuk menunjukan eksistensi. Setidaknya ambisi itu yg pertama kali dirasakan ketika guru “agama” waktu SMA atau senior Kuliah ketika menugaskan kami membuat kegiatan “ibadah” itu. Ya bahkan ketika SMA, lebih parah lagi (dan mungkin skali lagi tidak bisa diceritakan 😂). Ketika di Semarang, acara selesai dengan ditutup foto2 dan buat grup di media sosial (pada saat itu Facebook), dan posting foto dan di Like banyak orang.

Fenomena ini ternyata tidak hanya timbul di minoritas (yg memang butuh pengakuan) tetapi juga pada yg mayoritas. Dulu perasaan pernah tulis juga tentang fenomena “Jum’at-an” di Monas. Orang berbondong2 kesana untuk menunjukan kekuatan politik, dengan cara ibadah bersama di Monas. Tentu ini ga jauh beda dengan Natalan kami dulu, mencari eksistensi / kekuatan komunal. Ini masih sangan bisa diperdebatkan dan bisa jadi aku salah, tapi setelah berjalannya waktu, dan lain sebagainya aku rasa, gerakan tsb maih bisa dikategorikan dilakukan untuk eksistensi / kekuatan komunal jika dibandingkan dengan ibadahnya.

Dulu, ketika masih belum kuliah, ada kejadian unik sekali. Ini tanpa potongan dan tanpa bermaksud untuk mendeskritkan bentuk ibadah maupun cara beribadah.

Jadi ketika malam takbiran, seperti kumpulan pemuda pada umumbya di daera asalku, kami kumpul-kumpul nongkrong ga jelas. Menginjak pukul 02.00 (yg artinya sudah masuk hari lebaran) rekanku pamit untuk istirahat lebih dahulu. Kemudian yang bersangkutan berkata “Cuy, tidur duluan ya, besok kan Sholat Ied, setahun sekali masa ga sholat” sambil cengar cengir dan menuju rumah. Kami dengan santai bilang oke. Sejenak juga aku tidak merasa ada yg salah dengan perkataan tersebut. Setelah temaku berlalu, tidak lama temanku yang satu lagi berkata seperti ini : ” Yang satu tahun dikejar2, padahal ga wajib, yg wajib 5 kali sehari kok ditinggal2″ dengan santainya. Seketika aku kaget dan menyerengit (karena tidak ngerti terkait aturan ibadah sholat dll). Sambil penuh semangat (padahal rekan-rekan lain sebenernya mungkin punya pikiran dan kelakuan yg sama seperti temanku yg pamit pertama itu) berbicara : ” ya memang bener, itu mau ibadah, atau apa? Kok yg wajibnya ga diorioritaskan”. Kejadian ini terjadi sekitar tahun 2010 untuk informasi, walau ga oenting si, wkwk.

Kejadian itu membekas dan menambah khazanah terkait tata cara pelaksanaan ibadah saudaraku yg Islam, setidaknya aku yg Kristen jadi lebih bisa lebih toleransi terkait pelaksanaan dan tatacara ibadah.

Momen ibadah Islam lainnya akan datang, yaitu lebaran Haji. Moga fokus ibadah lebih besar daripada glorifikasinya.

Edo Susanto

3 Juni 2021

Takalar (00.53)